Rabu, 14 Maret 2018

Makalah Politik Islam


disusun oleh:

1.      Hanifah                        2015210043

2.      Maines Panjaitan         2015210038

3.      Sari Mustikawati         2015120120

4.      Siti Nur Rahayu           2015210034

5.      Suryanih                      2015120108


STMIK – Akademi Bina Insani - Bekasi, Jawa Barat - 2016




KATA PENGANTAR



            Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena anugerah dari-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Politik Islam ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
            Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Pendidikan Agama Islam. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Karena itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya. Terima kasih.



Bekasi, Mei 2016





Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar  Belakang

Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada, juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama. Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami mayoritas masyarakat muslim non-modern.

Namun, saat kata politik disandingkan dengan "ISLAM", saat benderanya berkibar di langit-langit, saat suara para pembaru muslim yang meneriakkan "sistem politk Islam" melengking memasuki pendengaran generasi muda muslim mengubah pola pikir mereka, menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi Islam dan politik yang sesat. Disini Islam hadir untuk menunjukkan dan menuntun bagaimana cara berpolitik yang benar sesuai dengan syariat yang menjadi pedoman hidup umat, yaitu Al-Quran.



1.2  Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan Politik Islam?

2.      Apakah yang menjadi Prinsip Dasar Politik Islam?

3.      Bagaimanakah Bentuk Sistem Pemerintahan Islam?

4.      Bagaimanakah Pemikiran  Politik Islam Kontemporer?

5.      Bagaimanakah Demokrasi Dalam Pandangan Islam?



1.3 Tujuan

1. untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan  Politik Islam

2. untuk dapat mengetahui apa saja yang menjadi Prinsip Dasar Politik Islam

3. untuk dapat mengetahui bagaimana Bentuk Sistem Pemerintahan Islam

4. untuk dapat mengetahui bagaimana Pemikiran  Politik Islam Kontemporer

5. untuk dapat mengetahui bagaimana Demokrasi Dalam Pandangan Islam

1.4 Manfaat

1. dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan  Politik Islam

2. dapat mengetahui apa saja yang menjadi Prinsip Dasar Politik Islam

3. dapat mengetahui bagaimana Bentuk Sistem Pemerintahan Islam

4. dapat mengetahui bagaimana Pemikiran  Politik Islam Kontemporer

5. dapat mengetahui bagaimana Demokrasi Dalam Pandangan Islam






BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Politik Islam

Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis yang maknanya kota. Dalam teori politik islam, politik itu identik dengan siyasah secara bahasa disebut dengan mengatur. Fiqh siyasah adalah aspek ajaran islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik artinya segala urusan dan tindakan, kebijakan, dan siasat mengenai pemerintahan suatu negara atau kebijakan suatu negara terhada negara-negara lain. Politik dapat juga dikatakan kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi / menangani suatu masalah.

            Politik Islam terdiri dari dua aspek yaitu politik dan islam. Politik berarti suatu cara bagaimana penguasa mempengaruhi perilaku kelompok yang dikuasai agar sesuai dengan keinginan penguasa. Sedangkan Islam berarti penataan dan islam sebagai din merupakan organisasi penataan menurut ajaran Allah , yaitu Al-Qur’an dan menurut sunnah rasulnya. Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya. Dalam konsep islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan Allah tertuang dalam Al-Qur’an menurut sunah rasul.  Penguasa tidak memiliki kekuasaan yang mutlak, ia hanya wakil (khalifah) Allah di muka bumiyang berfungsi untuk menegakkan ajaran Allah dalam kehidupan nyata.



2.2 Prinsip Dasar Politik Islam

 1.   Musyawarah


Dalam hal ini musyawarah merupakan prinsip pertama dalam tata aturan politik Islam yang amat penting, artinya penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan Islam haruslah berdasarkan atas kesepakatan musyawarah, kalau kita kembali pada nash, maka prinsip ini sesuai dengan ayat al Qur’an dalam surat ali Imran ayat 159.

Artinya : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada Allah” (Q.S. al Imran : 159).

Asas musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan oarang-oarang yang akan menjawab tugas-tugas utama dalam pentatbiran ummat. Asas musyawarah yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan undang-undang yang telah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan bagi menetukan perkara-perkara baru yang timbul dikalangan ummat melalui proses ijtihad.

Jadi musyawarah merupakan ketetapan dasar yang amat prinsip antara lain dalam sistem politik Islam umat Islam harus tetap bermusyawarah dalam segala masalah dan situasi yang bagaimanapun juga Rasulullah sendiri sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam segala urusan, hal ini mengandung arti bahwa setiap pemimpin pemerintahan (penguasa, pejabat, atau imam) harus selalu bermusyawarah dengan pengikut atau dengan umatnya, sebab musyawarah merupakan media pertemuan sebagai pendapat dan keinginan dari kelompok orang-orang yang mempunyai kepentingan akan hasil keputusan itu. Dengan musyawarah itu pula semua pihak ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan, dengan demikian hasil musyawarah itupun akan diikuti mereka, karena merasa ikut menentukan dalam keputusan itu sudah barang tentu materi musyawarah itu terbatas pada hal-hal yang sifatnya bukan merupakan perintah Allah yang sudah dijelaskan dalam wahyu-Nya.

2.   Keadilan


Kata ini sering digunakan dalam al Qur’an dan telah dimanfaatkan secara terus menerus untuk membangun teori kenegaraan Islam. Prinsip keadilan banyak sekali ayat al Qur’an memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia seperti firman Allah dalam surat an Nahl ayat 90:

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Q.S. an Nahl : 90).

Ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil, sebaliknya melarang mengancam dengan sanksi hukum bagi orang-orang yang berbuat sewenang-wenang, jadi kedudukan prinsip keadilan dalam sistem pemerintahan Islam harus menjadi alat pengukur dari nilai-nilai dasar atau nilai-nilai sosial masyarakat yang tanpa dibatasi kurun waktu.

Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang bersengketa di hadapan pihak pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-anaknya. Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan dzalim, mempunyai tingkatan yang amat tinggi dalam struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

Dijadikan keadilan sebagai prinsip politik Islam, maka mengandung suatu konsekuensi bahwa para penguasa atau penyelenggara pemerintahan harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga berlaku adil terhadap suatu perkara yang dihadapi, penguasa haruslah adil dan mempertimbangkan beberapa hak warganya dan juga mempertimbangkan kebebasan berbuat bagi warganya berdasarkan kewajiban yang telah mereka laksanakan.  Adil menjadi prinsip politik Islam dikenakan pada penguasa untuk melaksanakan pemerintahannya dan bagi warganya harus pula adil dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh keadilannya, hak dan kewajiban harus dilaksanakan dengan seimbang.

3.   Kebebasan


Adalah nilai yang juga amat diperhatikan oleh Islam, yang dimaksud di sini bukan kebebasan bagi warganya untuk dapat melakukan kewajiban sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini mengandung makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih sesuatu yang lebih baik, maksud kebebasan berfikir untuk menentukam mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan hasil pemikirannya, kebebasan berfikir dan kebebasan berbuat ini pernah diberikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa untuk mengikuti petunjuk atau tidak mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah sebagaimana firman-Nya :

Artinya : “Berkata (Allah) : Turunlah kamu berdua dari surga bersamasama sebagaimana kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain, maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk dari-Ku ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (Q.S. Toha : 123).

Jadi maksud ayat tersebut di atas adalah kebebasan yang mempunyai akibat yang berbeda, barangsiapa yang memilih melakukan sesuatu perbuatan yang buruk, maka iapun akan dibalasa dengan keburukan sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan. Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang berteruskan kepada makruf dan kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenar adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.



4.   Persamaan


Prinsip ini berarti bahwa “setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapat kebebasan, tanggung jawab, tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal-usul, bahasa dan keyakinan (credo)”. Dengan prinsip ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang, dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya karena ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh penguasa, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk membuat jarak antara mereka, bahkan diantara mereka diharapkan untuk saling kenal mengenal dan tukar pengalaman, bahkan yang membedakan diantara mereka hanyalah karena taqwanya.

6.    Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang kebijakan yang diambilnya.


Hak rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap tindak tanduknya. Prinsip ini berdasarkan kepada kewajiban pihak pemerintah untuk melakukan musyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dan pentatbiran negara dan ummat. Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti kewajipan setiap anggota dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran. Dalam pengertian yang luas, ini juga bererti bahawa rakyat berhak untuk mengawasi dan menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak pemerintah.



Jika seorang pemimpin pemerintahan melakukan hal yang cenderung merusak atau menuruti kehendak sendiri maka umat berhak memperingatkannya agar tidak meneruskan perbuatannya itu, sebab pemimpin tersebut berarti telah meninggalkan kewajibannya untuk menegakkan kebenarannya dan menjauhi perbuatan yang munkar. Jika pemimpin tersebut tidak mengabaikan peringatan, maka umat berhak mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin pemerintahan, karena penguasa di dunia ini merupakan khalifah yang menjalankan amanat Allah, maka tindakan penyalahgunaan jabatan seperti berjalan di atas jalan yang dilaknat Allah, menindas rakyat, melanggar perintah al Qur’an dan as Sunnah, maka pemimpin tersebut berhak diturunkan dari jabatannya.



2.3 Bentuk Sistem Pemerintahan Islam

Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem- sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang menjadilandasan berdirinya pemikiran, konsep, standar, serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun aspek dari undang-undang dasar seta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara, maupun hal-hal yang menjadikannya beda sama sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.

2.3.1        Pemerintahan Islam bukan monarki

Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya; seperti kalau mereka mewariskan harta kekayaan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang di bai’at oleh umat dengan penuh ridha dan kebebasan memilih. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan pada Khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mareka bai’at dengan penuh ridha agar menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat, yang menjadi Khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa.

2.3.2        Pemerintahan Islam bukan republik

Sistem pemerintahan Islam berdiri diatas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara. Dimana kedaulatannya ditangan syara, bukan ditangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun Khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri, karena yang berhak membuat aturan adalah Allah swt. Sedangkan Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. begitu pula umat tidak berhak untuk memecat Khalifah karena yang berhak memecat Khalifah adalah syara semata. Akan tetapi umat berhak untuk mengangkatnya sebab Islam telah menjadikan kekuasaan ditangan umat.
Sedangkan dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementrian bersama seorang Khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi. Yang ada dalam sistem khilafah hanyalah para mu’awin (pembantu Khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu Khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah pembantu sekaligus pelaksana.

2.3.3        Pemerintahan Islam bukan kekaisaran

Sistem kekaisaran amat jauh dari ajaran Islam sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam tidak sama sistem kekaisaran. Bahkan berbeda jauh, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum didalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan dan ekonomi di wilayah pusat. Sedangkan dalam tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat dalam wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan. Bahkan islam memberikan semua hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non-Islam yang memiliki kewarganegaraan.

2.3.4        Pemerintahan Islam bukan federasi

Sistem pemerintahan Islam juga bukan federasi yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah kesatuan. Begitu pula anggaran belanjanya akandiberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya.

2.3.5        Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium

Sistem imperium sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan diantara golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum. Sebaliknya imperium menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal pemerintahan, keuangan dan perekonomian. Metode Islam dalam pemerintahan adalah menyamakan antara semua rakyat yang diperintah di seluruh bagian daulah, mengingkari sektarianisme rasial, memberi kepada non muslim yang menjadi warga negara seluruh hak-hak dan kewajiban syar’i mereka, sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin secara adil. Maka dengan persamaan ini sistem pemerintahan Islam berbeda dari imperium. Dengan sistem ini, sistem pemerintahan Islam tidak menjadikan daerah-daerah sebagai jajahan. Sumber daya tidak dikumpulkan di pusat untuk manfaat pusat saja. Sebaliknya seluruh bagian daulah dijadikan sebagai satu kesatuan betapapun jauh jaraknya dan betapapun beragam suku dan bangsanya. Setiap daerah dinilai sebagai bagian integral dari tubuh daulah. Penduduknya memiliki seluruh hak yang dimiliki oleh penduduk pusat, atau daerah lain manapun. Kekuasaan pemerintahan, sistem dan hukumnya adalah sama untuk seluruh daerah.



Bentuk negara khilafah disebut juga dengan al-Khilafah yang artinya suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau masih hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib). Yang kepala negaranya disebut Khalifah. Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah al-Munawarah, dan sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang mulia setelah beliau. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan yang menjadi kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di dalam umat ini seluruhnya kecuali orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir imperialis yang telah menghancurkan daulah Khilafah dan memecah belah negeri kaum Muslimin.

2.4 Pemikiran  Politik Islam Kontemporer

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:

1.       Kemunduran Islam  disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.

2.      Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan.

3.      Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi.

Dalam periode ini ada tiga kecenderungan  pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme. Kelompok pertama memiliki pandangan  bahwa agama dan politik adalah menyatu dan tidak terpisahkan, Kelompok kedua berpendapat bahwa agama dan politik melakukan hubungan timbal balik yang saling bergantung, Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan mendirikan negara.



2.4.1 Pemikiran para tokoh tentang politik Islam kontemporer:
1.    Ali Abdul Raziq 

Merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis  dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara. Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah: 1) Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam, 2) persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya, 3) pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.


2.    Muhammad Husain Haikal

Menurut Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan. model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
Ada beberapa prinsip dalam Negara islam demokrasi diantaranya yaitu:
•    Prinsip persaudaraan

Dalam menetapkan prinsip ini, wawasan Islam luas sekali. Islam tidak memasang rintangan dan batasan apapun. Persaudaraan dalam Islam tidak hanya merupakan pemanis bibir atau sekadar basa-basi, melainkan suatu prinsip yang sangat esensial. Persaudaraan Islam juga suatu akidah yang harus ditumbuhkan dalam jiwa setiap muslim dan tercermin dalam tindakan manusia. Atau, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang lemah imannya.
Sebenarnyalah, selama ini arti solidaritas manusia yang kita semua dambakan dan kita kampanyekan dengan sungguh-sungguh, sampai beberapa hal berikut ini terwujud. Yaitu, persaudaraan di antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Sampai setiap individu dan setiap bangsa benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kewajiban persaudaraan menuntut seseorang merasa bahagia melihat saudaranya mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan.

•    persamaan dalam Islam

Adapun persamaan dalam Islam merupakan contoh yang tertinggi yang patut diteladani. Bagi Islam, persamaan tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, keterpautan ilmu, dan berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi.  Apabila kepercayaan terhadap konser persamaan di depan undang-undang adalah salah satu sendi demokrasi, apalagi kepercayaan terhadap konsep persamaan di hadapan Allah. Allah adalah sumber setiap hukum dan segala sesuatu, kekuatan satu-satunya yang menciptakan dan mengatur alam.

•    kebebasan prinsip islam yang mulia

Dewasa ini, kebebasan bisa berarti mempunyai hak dan boleh menggunakan sekehendak anda, asal Anda tidak merugikan dan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam kenyataannya, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia, kecuali, tentu dalam hal-hal yang dikenai sanksi dan syara’nya. Hanya saja, menurut Haikal bentuk kebebasan yang tersurat dan tersirat dalam semboyan Revolusi Perancis adalah yang terpenting, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Orang mungkin tidak percaya bahwa kebebasan ini juga telah ditetapkan dalam ajaran Islam, justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas.

Secara historis kebebasan ini lebih banyak dipraktekkan dalam dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Pada masa-masa itu, tulis Haikal tidak dikenal adanya batasan bagi kebebasan berpikir, selama kebebasan berpikir itu tetap berada dalam jalur benar. Kita lihat misalnya bagaimana di kalangan kaum muslimin Ahli Sunnah terdiri dari empat madzhab. Seluruh kaum Muslimin menghormati keempat madzhab tersebut, kendati di antara mereka ada perbedaan dalam berpikir dan berpendapat. Madzhab-madzhab ini ditetapkan oleh para imam yang diakui kelebihannya oleh segenap kaum musllimin, dalam tingkat keimanan dan kedudukan mereka yang tinggi. Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar dan bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional.


3.    Abdul Wahab Khollaf
Menurut Khollaf kekuasaan  negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri‟iyat), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman (al-sulthat al-qadhaiyat), dan  kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat)  dapat disebut juga kekuasaan  legislatif, eksekutif dan yudikatif.





2.5 Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ:    وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?”(HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)

l Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.

Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.

2.5.1 Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan

d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.

        Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.



2.5.2 Demokrasi Bertentangan Dengan Islam

Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.

Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw membacakan:


اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)

Ady bin Hatimr.a berkata:


يارسول الله انهم لم يكونوا يعبدونهم

Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).

Maka Rasul menjawab:


اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم

Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]

Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).

Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :

“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll. Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan.



2.5.3 Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?

Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.

Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :

(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:


إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي

“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)

(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.

(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

2.5.4 Demokrasi: Cacat Sejak Lahir

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”. (…mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai tindakan kekerasan(violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani. Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

2.5.5 Demokrasi Ketuhanan

Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)

“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”. Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata yang memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.

Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni:

Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.


إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)

Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:


فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.(QS. An Nisaa’: 59)

Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibai’at (diangkat) oleh umat.

Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:


فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ

“Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR. Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.”

Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.

Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,


حكم الحاكم يرفع الخلاف

Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).








BAB III

PENUTUP



3.1  Kesimpulan

Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya. Prinsip dasar politik Islam diantaranya adalah Musyawarah (syura),Keadilan ,Kebebasan ,Persamaan, dan Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang diambilnya. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah. Ijmak sahabat telah menyepakati kesatuan khilafah, kesatuan daulah dan ketidakbolehan baiat kecuali kepada seorang khalifah. Seluruh imam madzhab, para mujtahid dan fukaha sepakat dengan hal itu.

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran islam modern atau kontemporer:
(1) Kemunduran Islam  disebabkan oleh faktor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. (2) Rongrongan barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan dunia Islam yang berakhir dengan penjajahan. (3)Keunggulan barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi. Dalam periode ini ada tiga kecenderungan  pemikiran politik islam, yaitu integralisme, interseksion dan sekularisme. Dan demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.



3.2  Saran

      Penyusun  menyadari akan kekurangan bahan dari materi makalah ini. Sehingga penyusun menyarankan apabila terdapat kekurangan dalam isi dari makalah ini, maka saran – saran dan  kritik dari pembaca adalah penutup dari semua kekurangan penulis serta menjadikan semua itu  menjadi bahan acuan untuk memotivasi dan menyempurnakan makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA



menurut.htmlhttp://www.apapengertianahli.com/2014/09/pengertian-politik-dalam-islam-menurut.html






http://syahmuhammadnoor.blogspot.co.id/2013/10/makalah-politik-dalam-islam.html





1 komentar:

  1. TINING TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER
    TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER ford escape titanium TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER titanium earrings sensitive ears TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER men\'s titanium wedding bands TIGER TIGER samsung watch 3 titanium TIGER TIGER titanium dental TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIGER TIG

    BalasHapus

Makalah Politik Islam

disusun oleh: 1.       Hanifah                        2015210043 2.       Maines Panjaitan         2015210038 3.       Sari Mu...